# Perkembangan politik pada masa orde lama dan orde baru
Sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 bangsa
Indonesia masuk dalam suatu babak kehidupan baru sebagai bangsa yang merdeka
dan berdaulat penuh. Dalam perjalanan sejarahnya bangsa Indonesia
mengalami berbagai perubahan asas, paham, ideologi dan doktrin dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan melalui berbagai hambatan dan
ancaman yang membahayakan perjuangan bangsa indonesia dalam mempertahankan
serta mengisi kemerdekaan. Wujud berbagai hambatan adalah disintegrasi dan
instabilisasi nasional sejak periode orde lama yang berpuncak pada
pemberontakan PKI 30 September 1945 sampai lahirlah Supersemar sebagai titik
balik lahirnya tonggak pemerintahan era Orde Baru yang merupakan koreksi total
terhadap budaya dan sistem politik Orde Lama dimana masih terlihat kentalnya
mekanisme, fungsi dan struktur politik yang tradisional berlandaskan ideoligi
sosialisme komunisme.
Konfigurasi politik, menurut Dr. Moh. Mahfud MD, SH,
mengandung arti sebagai susunan atau konstelasi kekuatan politik yang secara
dikotomis dibagi atas dua konsep yang bertentangan secara diametral, yaitu
konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter.
Konfigurasi politik yang ada pada periode orde lama membawa
bangsa Indonesia berada dalam suatu rezim pemerintahan yang otoriter dengan
berbagai produk-produk hukum yang konservatif dan pergeseran struktur
pemerintahan yang lebih sentralistik melalui ketatnya pengawasan pemerintah
pusat terhadap pemerintah daerah. Pada masa ini pula politik kepartaian sangat
mendominasi konfigurasi politik yang terlihat melalui revolusi fisik serta
sistem yang otoriter sebagai esensi feodalisme. Sedangkan dibawah kepemimpinan
rezim Orde Baru yang mengakhiri tahapan tradisional tersebut pembangunan
politik hukum memasuki era lepas landas lewat proses Rencana Pembangunan Lima
Tahun yang berkesinambungan dengan pengharapan Indonesia dapat menuju tahap
kedewasaan (maturing society) dan selanjutnya berkembang menuju bangsa yang
adil dan makmur.
Indonesia menjalankan pemerintahan republik presidensial multipartai
yang demokratis. Seperti juga di negara-negara demokrasi lainnya, sistem
politik di Indonesia didasarkan pada Trias Politika yaitu kekuasaan legislatif,
eksekutif dan yudikatif. Kekuasaan legislatif dipegang oleh sebuah lembaga
bernama Majelis Permusyawatan Rakyat (MPR) yang terdiri dari dua badan yaitu
DPR yang anggota-anggotanya terdiri dari wakil-wakil Partai Politik dan DPD
yang anggota-anggotanya mewakili provinsi yang ada di Indonesia. Setiap daerah
diwakili oleh 4 orang yang dipilih langsung oleh rakyat di daerahnya
masing-masing.
Lembaga eksekutif berpusat pada presiden, wakil presiden,
dan kabinet. Kabinet di Indonesia adalah Kabinet Presidensiil sehingga para
menteri bertanggung jawab kepada presiden dan tidak mewakili partai politik
yang ada di parlemen. Meskipun demikian, Presiden yang diusung oleh Partai juga
menunjuk sejumlah pemimpin Partai Politik untuk duduk di kabinetnya. Tujuannya
untuk menjaga stabilitas pemerintahan mengingat kuatnya posisi lembaga
legislatif di Indonesia. Namun pos-pos penting dan strategis umumnya diisi oleh
Menteri tanpa portofolio partai (berasal dari seseorang yang dianggap ahli
dalam bidangnya).
Lembaga Yudikatif sejak masa reformasi dan adanya amandemen
UUD 1945 dijalankan oleh Mahkamah Agung, Komisi Yudisial,
dan Mahkamah Konstitusi, termasuk pengaturan administrasi para
hakim. Meskipun demikian keberadaan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia tetap dipertahankan.
Sistem Politik berarti mekanisme seperangkat
fungsi atau peranan dalam strutkus politik dalam hubungan satu sama lain yang
menunjukkan satu proses yang langgeng. Sistem Politik Indonesia berarti
:
1. Sistem politik yang
pernah berlaku di Indonesia (masa lampau)
2. sistem politik yang
sedang berlaku di Indonesia (masa sekarang)
3. Sistem politik yang
berlaku selama eksistensi Indonesia masih ada (masa yang akan datang)
Di dalam dunia perpolitikan yang terjadi di Indonesia, kalau
semasa orde lama berbagai percobaan sistem kenegaraan pernah dilakukan oleh
Presiden Soekarno, mulai dari percobaan adopsi demokrasi ala barat yang puritan
hingga demokrasi terpimpin. Namun, ketika orde lama yang dimotori Soekarno
tumbang, naiklah sebuah orde yang dimotori oleh pihak militer ke jenjang
kekuasaan pemerintahan yang dinamakan orde baru. Sesuai dengan jiwa orang-orang
yang berada di balik layar, maka pemerintahan yang bergaya militer dan
berciri-khaskan kebapakan (komandan) serta terkurungnya berbagai kebebasan
madani mulai berkembang.
Sejarah Sistem Politik Indonesia bisa dilihat dari proses
politik yang terjadi di dalamnya. Namun dalam menguraikannya tidak cukup
sekedar melihat sejarah Bangsa Indonesia tapi diperlukan analisis sistem agar
lebih efektif. Dalam proses politik biasanya di dalamnya terdapat interaksi fungsional
yaitu proses aliran yang berputar menjaga eksistensinya. Sistem politik
merupakan sistem yang terbuka, karena sistem ini dikelilingi oleh lingkungan
yang memiliki tantangan dan tekanan.
Dalam melakukan analisis sistem bisa dengan pendekatan satu
segi pandangan saja seperti dari sistem kepartaian, tetapi juga tidak bisa
dilihat dari pendekatan tradisional dengan melakukan proyeksi sejarah yang
hanya berupa pemotretan sekilas. Pendekatan yang harus dilakukan dengan
pendekatan integratif yaitu pendekatan sistem, pelaku-saranan-tujuan dan
pengambilan keputusan
Proses politik mengisyaratkan harus adanya kapabilitas
sistem. Kapabilitas sistem adalah kemampuan sistem untuk menghadapi kenyataan
dan tantangan. Pandangan mengenai keberhasilan dalam menghadapi tantangan ini
berbeda diantara para pakar politik. Ahli politik zaman klasik seperti
Aristoteles dan Plato dan diikuti oleh teoritisi liberal abad ke-18 dan 19
melihat prestasi politik dikuru dari sudut moral. Sedangkan pada masa modern
sekarang ahli politik melihatnya dari tingkat prestasi (performance level)
yaitu seberapa besar pengaruh lingkungan dalam masyarakat, lingkungan luar
masyarakat dan lingkungan internasional.
Pengaruh ini akan memunculkan perubahan politik. Adapun
pelaku perubahan politik bisa dari elit politik, atau dari kelompok
infrastruktur politik dan dari lingkungan internasional.
Masa transisi dalam sebuah konstalasi politik negara
merupakan periode rekonsolidasi antara kekuatan politik yang menghendaki perubahan.
Rekonsolidasi dilakukan dalam level elite sekaligus upaya pelibatan basis massa
rakyat sebagai pemegang legitimasi negara. Masa transisi merupakan periode
menentukan dalam sebuah perkembangan politik, sehingga membutuhkan sebuah
konsistensi, energi ekstra dan konsolidasi dari kelompok progresif. Sebab,
rekonsolidasi tidak hanya sekadar menyatukan potensi kekuatan kelompok
progresif, yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana mengantisipasi kekuatan
status quo (konservatif). Bahkan, mengawal sebuah perubahan jauh lebih penting
dari memulai perubahan. Indonesia setidaknya telah mencatat dua era transisi
yang penting, yakni era peralihan Orde Lama ke Orde Baru dan Orde Baru ke
Reformasi.
Peralihan rezim Orde Lama ke Orde Baru dalam skop nasional
selama ini dipahami melalui buku-buku teks yang memuat kronologi sejarah
nasional. Penulisan sejarah yang ‘monolog’ dan cenderung pro-pemerintah (buku
putih Orde Baru). Sedangkan proses jatuhnya Orde Baru yang masih digolongkan
sebagai sejarah kontemporer dapat diakses secara luas dan variatif. Indonesia
yang menganut sistem negara kesatuan, dalam proses meraih legitimasinya hingga
saat ini, kerap dihadapkan pada permasalahan disintegrasi. Kondisi geografis
yang terdiri dari ribuan pulau, realitas multikultur, etnis, suku, dan agama
menjadi tantangan tersendiri dalam menjaga kukuhnya integritas nasional. Dalam
tinjauan historis, proses konsolidasi para pemuda dapat terwujud melalui ikrar
Sumpah Pemuda pada tahun 1928, yang selanjutnya menjadi bekal peneguhan visi
mewujudkan kemerdekaan, hingga lahirnya konsep negara kesatuan. Perjalanan
sejarah lahirnya negara Indonesia lahir melalui kesamaan visi melepaskan diri
dari imprealisme sekaligus merupakan wujud ikatan emosionil sebagai bangsa
bekas jajahan Belanda.
Ciri Orde Lama, yang dilakukan pada masa pemerintahan
Soekarno adalah Yang Pertama, sistem Presidensial dengan artian
Presiden sebagai kepala negara yang berjalan pada setiap priodik masa jabatan
dan keseimbangan terhadap pemerintah dan rakyat. Yang Kedua, sistem
Parlementer dengan artian perdana mentri sebagai kepala negara, tetapi ada
kelemahannya yakni masa jabatannya sangat singkat dan pemerintahannya tidak
stabil adapun kelebihannya pengakuan terhadap Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) sangat besar. Yang Ketiga, tentang Demokrasi
Terpimpin dengan artian menjadi kepala negara seumur hidup dan hampir
pemerintahannya sangat otoriter. Adapun kegagalan dan kelebihan pada Orde Lama
ada, terutama kegagalan Orde Lama pada pemerintahan Soekarno adalah masalah
ekonomi yang kian turun, stabilitas politik-keamanan sangat kurang, dan
konstitusi yang tidak komitmen. Adapun keberhasilan pada Orde Lama adalah
nation building yang sangat kuat dan diplomasi luar-negri yang sangat besar
terhadap dunia. Akan tetapi menurut para politik ini semuanya gagal dalam
pemerintahan Orde Lama.
Ciri Orde Baru, yang dilakukan pada masa pemerintahan
Soeharto adalah Yang Pertama, wawasan kebangsaan yang sangat lemah
dan bersifat dogmatis atau doktrin yang terlalu berlebihan. Yang Kedua,
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang meraja lela. Yang Ketiga, jiwa
dan bathinnya yang kering. Adapun kegagalan dan kelebihan pada Orde Baru ada,
terutama kegagalan Orde Baru pada pemerintahan Soeharto adalah ketidakadilan
dalam sosial baik pemerintah maupun rakyat jelata sekalipun sehingga timbulah
korupsi pada jiwa bangsa ini, kurangnya membangun keterbukaan politik. Adapun
keberhasilan pada Orde Baru adalah pembangunan fisik, yang amat disayangkan
ialah tidak melihat sisi bathin masyarakat pada masa itu, pertumbuhan ekonomi
yang cukup baik saya kira pada era 1980 hingga 1996-an masyarakat masih
merasakan rupiah pada waktu itu sampai kepada tahap no urut 8 besar, itupun
masih ada uang inggris yang tinggi pada waktu itu, lalu stabilitas
politik-keamanan yang sangat kuat dibandingkan pada masa Orde Baru.
B.1. Masa Peralihan Orde Lama ke Orde Baru
Situasi perpolitikan nasional menjelang runtuhnya Orde Lama,
ditandai dengan pertarungan perebutan pengaruh dan upaya penciptaan hegemoni
pada pemerintahan. Kekuatan yang dominan dan memiliki pengaruh, diantaranya
adalah Militer (Angkatan Darat), Masyumi, PNI, PKI, dan Soekarno. Namun,
perkembangan situasi politik membawa perubahan yang lebih cepat. Semula
berhembus isu Dewan Jenderal yang berada dalam tubuh Angkatan Darat dan dituduh
akan melakukan kudeta. Peristiwa Gerakan Tiga Puluh September (G30S) telah
membuka peta politik menjadi semakin teransparan. Saat itu, PKI menjadi
satu-satunya kelompok yang dituduh sebagai dalang dari upaya kudeta tersebut.
Puncak dari konstalasi politik tersebut menggiring PKI
tertuduh sebagai dalang dan pelaku pemberontakan. Akibatnya, PKI tidak saja
terdepak dari kedudukan politiknya di kabinet maupun di parlemen. Bahkan,
militer di bawah kendali Soeharto bersama kelompok massa demonstran dari
kalangan mahasiswa dan pelajar (KAMMI dan KAPPI) seakan terhipnotis terbawa isu
untuk menghancurkan PKI dan jaringan Ormasnya.
Peralihan Orde Lama ke Orde Baru dan Orde Baru ke Reformasi
dalam tinjauan geopolitik Indonesia makro adalah fakta pengulangan sejarah yang
menempatkan sosok presiden sebagai subyek sekaligus obyek perubahan. Namun,
secara kontekstual masing-masing memiliki faktor determinisme kausalitas yang
berbeda. Praktik komunikasi politik selalu mengikuti sistem politik
yang berlaku. Di negara yang menganut sistem politik tertutup, komunikasi
politik pada umumnya mengalir dari atas (penguasa) ke bawah (rakyat).
Komunikasi politik semacam itu menerapkan paradigma komunikasi top down.
Penerapan pendekatan ini memang bukan satu-satunya, namun yang dominan
dilaksanakan adalah pendekatan top down. Untuk mewujudkan paradigma tersebut,
pendekatan komunikasi politik terhadap media massa bersifat transmisional.
Komunikasi politik semacam ini banyak dipraktikkan para
penguasa ketika Indonesia menganut sistem politik tertutup. Ketika rezim Orde
Lama berkuasa, pesan politik yang mengemuka di media massa pada umumnya berisi
konflik, kontradiksi yang antagonistik, dan hiperbola. Pesan-pesan politik
semacam itu kemudian jarang ditemui di media massa semasa Orde Baru berkuasa.
Pada era ini, pesan-pesan politik lebih banyak bermuatan konsensus dan kemasan
eufemisme. Meski pada dua era itu berbeda dalam penekanan pesan politiknya,
namun hakikatnya tetap menerapkan komunikasi satu arah (linear).
B.2. Konfigurasi politik era orde lama
Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mengeluarkan
Dekrit Presiden yang isinya pembubaran konstituante, diundangkan dengan resmi
dalam Lembaran Negara tahun 1959 No. 75, Berita Negara 1959 No. 69 berintikan
penetapan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950, dan
pembentukan MPRS dan DPAS. Salah satu dasar pertimbangan dikeluarkannya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 adalah gagalnya konstituante melaksanakan tugasnya. Pada
masa ini Soekarno memakai sistem demokrasi terpimpin. Tindakan Soekarno
mengeluarkan Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959 dipersoalkan keabsahannya dari
sudut yuridis konstitusional, sebab menurut UUDS 1950 Presiden tidak berwenang
“memberlakukan” atau “tidak memberlakukan” sebuah UUD, seperti yang dilakukan
melalui dekrit. Sistem ini yang mengungkapkan struktur, fungsi dan mekanisme,
yang dilaksanakan ini berdasarkan pada sistem “Trial and Error” yang
perwujudannya senantiasa dipengaruhi bahkan diwarnai oleh berbagai paham
politik yang ada serta disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang cepat
berkembang. Maka problema dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara yang berkembang pada waktu itu bukan masalah-masalah yang bersifat
ideologis politik yang penuh dengan norma-norma ideal yang benar, tetapi
masalah-masalah praktis politik yang mengandung realitas-realitas objektif
serta mengandung pula kemungkinan-kemungkinan untuk dipecahkan secara baik,
walaupun secara normatif ideal kurang atau tidak benar. Bahkan kemudian muncul
penamaan sebagai suatu bentuk kualifikasi seperti “Demokrasi Terpimpin” dan
“Demokrasi Pancasila”. Berbagai “Experiment” tersebut ternyata menimbulkan
keadaan “excessive” (berlebihan) baik dalam bentuk “Ultra Demokrasi”
(berdemokrasi secara berlebihan) seperti yang dialami antara tahun 1950-1959,
maupun suatu kediktatoran terselubung (verkapte diktatuur) dengan menggunakan
nama demokrasi yang dikualifikasi (gekwalificeerde democratie).
Sistem “Trial and Error” telah membuahkan sistem multi
ideologi dan multi partai politik yang pada akhirnya melahirkan multi
mayoritas, keadaan ini terus berlangsung hingga pecahnya pemberontakan DI/TII
yang berhaluan theokratisme Islam fundamental (1952-1962) dan kemudian Pemilu
1955 melahirkan empat partai besar yaitu PNI, NU, Masyumi dan PKI yang secara
perlahan terjadi pergeseran politik ke sistem catur mayoritas.
Kenyataan ini
berlangsung selama 10 tahun dan terpaksa harus kita bayar tingggi berupa:
1. Gerakan separatis pada
tahun 1957
2. Konflik ideologi yang
tajam yaitu antara Pancasila dan ideologi Islam, sehingga terjadi kemacetan
total di bidang Dewan Konstituante pada tahun 1959. Oleh karena konflik antara Pancasila dengan theokratis Islam
fundamentalis itu telah mengancam kelangsungan hidup Negara Pancasila 17 Agustus
1945, maka terjadilah Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 dengan tujuan
kembali ke UUD 1945 yang kemudian menjadi dialog Nasional yang seru antara yang
Pro dan yang Kontra. Yang Pro memandang dari kacamata politik, sedangkan yang
Kontra dari kacamata Yuridis Konstitusional. Akhirnya memang masalah Dekrit
Presiden tersebut dapat diselesaikan oleh pemerintah Orde Baru, sehingga Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 kelak dijadikan salah satu sumber hukum dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Selanjutnya pada perang revolusi yang
berlangsung tahun 1960-1965, yang sebenarnya juga merupakan prolog dari
pemberontakan Gestapu/PKI pada tahun 1965, telah memberikan pelajaran-pelajaran
politik yang sangat berharga walau harus kita bayar dengan biaya tinggi.
B.3. Konfigurasi politik era orde baru
Peristiwa yang lazim disebut Gerakan 30 September/Partai
Komunis Indonesia (G30S/PKI) menandai pergantian orde dari Orde Lama
ke Orde Baru. Pada tanggal 1 Maret 1966 Presiden Soekarno dituntut untuk
menandatangani sebuah surat yang memerintahkan pada Jenderal Soeharto untuk
mengambil segala tindakan yang perlu untuk keselamatan negara dan melindungi
Soekarno sebagai Presiden. Surat yang kemudian dikenal dengan
sebutan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) itu diartikan sebagai media
pemberian wewenang kepada Soeharto secara penuh.
Orde Baru dikukuhkan dalam sebuah sidang MPRS yang
berlangsung pada Juni-Juli 1966. diantara ketetapan yang dihasilkan sidang
tersebut adalah mengukuhkan Supersemar dan melarang PKI berikut ideologinya
tubuh dan berkembang di Indonesia. Menyusul PKI sebagai partai terlarang,
setiap orang yang pernah terlibat dalam aktivitas PKI ditahan. Sebagian diadili
dan dieksekusi, sebagian besar lainnya diasingkan ke pulau Buru. Pada masa
Orde Baru pula pemerintahan menekankan stabilitas nasional dalam program
politiknya dan untuk mencapai stabilitas nasional terlebih dahulu diawali
dengan apa yang disebut dengan konsensus nasional. Ada dua macam
konsensus nasional, yaitu :
1. Pertama berwujud
kebulatan tekad pemerintah dan masyarakat untuk melaksanakan Pancasila dan UUD
1945 secara murni dan konsekuen. Konsensus pertama ini disebut juga dengan
konsensus utama;
2. Sedangkan konsensus
kedua adalah konsensus mengenai cara-cara melaksanakan konsensus utama.
Artinya, konsensus kedua lahir sebagai lanjutan dari konsensus utama dan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Konsensus kedua lahir antara
pemerintah dan partai-partai politik dan masyarakat.
Secara umum, elemen-elemen penting yang terlibat dalam
perumusan konsensus nasional antara lain pemerintah, TNI dan beberapa
organisasi massa. Konsensus ini kemudian dituangkan kedalam TAP MPRS No.
XX/1966, sejak itu konsensus nasional memiliki kekuatan hukum yang mengikat
bagi seluruh rakyat Indonesia. Beberapa hasil konsensus tersebut antara lain
penyederhanaan partai politik dan keikutsertaan TNI/Polri dalam keanggotaan
MPR/DPR. Berdasarkan semangat konsensus nasional itu pemerintah Orde Baru dapat
melakukan tekanan-tekanan politik terhadap partai politik yang memiliki basis
massa luas. Terlebih kepada PNI yang nota bene partai besar dan dinilai
memiliki kedekatan dengan rezim terdahulu. Pemerintah orde baru juga
melakukan tekanan terhadap partai-partai dengan basis massa Islam. Satu contoh
ketika para tokoh Masyumi ingin menghidupkan kembali partainya yang telah
dibekukan pemerintah Orde Lama, pemerintah memberi izin dengan dua syarat.
Pertama, tokoh-tokoh lama tidak boleh duduk dalam kepengurusan partai. Kedua,
masyumi harus mengganti nama sehingga terkesan sebagai partai baru.
Pada Pemilu 1971 partai-partai politik disaring melalui
verifikasi hingga tinggal sepuluh partai politik yang dinilai memenuhi syarat
untuk menjadi peserta pemilu. Dalam pemilu kali ini didapati Golongan Karya
(Golkar) menjadi peserta pemilu. Pada mulanya Golkar merupakan gabungan dari
berbagai macam organisasi fungsional dan kekaryaan, yang kemudian pula pada 20
Oktober 1984 mendirikan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar).
Tujuannya antara lain memberikan perlindungan kepada kelompok-kelompok
fungsional dan mengkoordinir mereka dalam front nasional. Sekber Golkar ini
merupakan organisasi besar yang dikonsolidasikan dalam kelompok-kelompok induk
organisasi seperti SOKSI, KOSGORO, MKGR dan lainnya sebagai “Political Battle
Unit “ rezim orde baru.
Pasca pemilu 1971 muncul kembali ide-ide penyederhanaan
partai yang dilandasi penilaian hal tersebut harus dilakukan karena partai
politik selalu menjadi sumber yang mengganggu stabilitas, gagasan ini
menimbulkan sikap Pro dan Kontra karena dianggap membatasi atau mengekang
aspirasi politik dan membentuk partai-partai hanya kedalam golongan nasional,
spiritual dan karya. Pada tahun 1973 konsep penyederhanaan partai (Konsep Fusi)
sudah dapat diterima oleh partai-partai yang ada dan dikukuhkan melalui
Undang-Undang No. 3/1975 tentang Partai Politik dan Golongan, sistem fusi ini
berlangsung hingga lima kali Pemilu selama pemerintahan orde baru (1977, 1982,
1987, 1992 dan 1997).
B.4. Partai Politik
Melihat sejarah sepanjang Orde Lama sampai Orde Baru partai
politik mempunyai peran dan posisi yang sangat penting sebagai kendaraan
politik sekelompok elite yang berkuasa, sebagai ekspresi ide, pikiran,
pandangan dan keyakinan kebebasan. Pada umumnya para ilmuwan politik menggambarkan
adanya empat fungsi partai politik, menurut Miriam Budiardjo meliputi:
1. Sarana komunikasi
politik
2. Sosialisasi politik
3. Sarana rekruitmen
politik
4. Pengatur konflik.
Keempat fungsi tersebut sama-sama terkait dimana partai
politik berperan dalam upaya mengartikulasikan kepentingan (Interests
Articulation) dimana berbagai ide-ide diserap dan diadvokasikan sehingga dapat
mempengaruhi materi kebijakan kenegaraan. Terkait sebagai sarana komunikasi
politik, partai politik juga berperan mensosialisasikan ide, visi dan kebijakan
strategis yang menjadi pilihan partai politik serta sebagai sarana rekruitmen
kaderisasi pemimpin Negara. Sedangkan peran sebagai pengatur konflik,
partai politik berperan menyalurkan berbagai kepentingan yang berbeda-beda.
Disamping itu, partai politik juga memiliki fungsi sebagai pembuat
kebijaksanaan, dalam arti bahwa suatu partai politik akan berusaha untuk
merebut kekuasaan secara konstitusional, sehingga setelah mendapatkan kekuasaannya
yang legitimate maka partai politik ini akan mempunyai dan memberikan
pengaruhnya dalam membuat kebijaksanaan yang akan digunakan dalam suatu
pemerintahan.
Dengan demikian, fungsi partai politik secara garis besar
adalah sebagai kendaraan untuk memenuhi aspirasi warga negara dalam mewujudkan
hak memilih dan hak dipilihnya dalam kehidupan bernegara. Selanjutnya, sejarah
kepartaian di Indonesia merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
sejarah perjuangan bangsa dalam merebut kemerdekaan Indonesia. Dari sejarah
tersebut dapai dilihat bahwa keberadaan kepartaian di Indonesia bertujuan
untuk: (a) untuk menghapuskan penindasan dan pemerasan di Indonesia khususnya
dan didunia pada umumnya (kolonialisme dan imperialisme); (b) untuk
mencerdaskan bangsa Indonesia; (c) untuk meningkatkan taraf hidup dan
kesejahteraan rakyat Indonesia.
Untuk melaksanakan tujuan utama diatas perlu ditentukan
sasaran antara, yaitu;
· Kemerdekaan di bidang politik, ekonomi
dan budaya nusa dan bangsa;
· Pemerintahan Negara yang demokratis;
· Menentukan Undang-Undang Dasar Negara yang
memuat ketentuan-ketentuan dan norma-norma yang sesuai dengan nilai-nilai
sosialistis paternalistic yang agamais dan manusiawi.
B.5. Partai Politik dalam Era Orde Lama
Pada masa sesudah kemerdekaan, Indonesia menganut sistem
multi partai yang ditandai dengan hadirnya 25 partai politik. Hal ini
ditandai dengan Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 dan
Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945. Menjelang Pemilihan Umum 1955 yang
berdasarkan demokrasi liberal bahwa jumlah parpol meningkat hingga 29 parpol
dan juga terdapat peserta perorangan.
Pada masa diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959,
sistem kepartaian Indonesia dilakukan penyederhanaan dengan Penpres No. 7 Tahun
1959 dan Perpres No. 13 Tahun 1960 yang mengatur tentang pengakuan, pengawasan
dan pembubaran partai-partai. Kemudian pada tanggal 14 April 1961 diumumkan
hanya 10 partai yang mendapat pengakuan dari pemerintah, antara lain adalah
sebagai berikut: PNI, NU, PKI, PSII, PARKINDO, Partai Katholik, PERTI MURBA dan
PARTINDO. Namun, setahun sebelumnya pada tanggal 17 Agustus 1960, PSI dan
Masyumi dibubarkan.
Dengan berkurangnya jumlah parpol dari 29 parpol menjadi 10
parpol tersebut, hal ini tidak berarti bahwa konflik ideologi dalam masyarakat
umum dan dalam kehidupan politik dapat terkurangi. Untuk mengatasi hal ini maka
diselenggarakan pertemuan parpol di Bogor pada tanggal 12 Desember 1964 yang
menghasilkan “Deklarasi Bogor.”
B.6. Partai Politik dalam Era Orde Baru
Dalam masa Orde Baru yang ditandai dengan dibubarkannya PKI
pada tanggal 12 Maret 1966 maka dimulai suatu usaha pembinaan terhadap
partai-partai politik. Pada tanggal 20 Pebruari 1968 sebagai langkah peleburan
dan penggabungan ormas-ormas Islam yang sudah ada tetapi belum tersalurkan
aspirasinya maka didirikannyalah Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI) dengan
massa pendukung dari Muhammadiyah, HMI, PII, Al Wasliyah, HSBI, Gasbindo, PUI
dan IPM.Selanjutnya pada tanggal 9 Maret 1970, terjadi pengelompokan
partai dengan terbentuknya Kelompok Demokrasi Pembangunan yang terdiri
dari PNI, Partai Katholik, Parkindo, IPKI dan Murba. Kemudian tanggal 13
Maret 1970 terbentuk kelompok Persatuan Pembangunan yang terdiri atas NU,
PARMUSI, PSII, dan Perti. Serta ada suatu kelompok fungsional yang dimasukkan
dalam salah satu kelompok tersendiri yang kemudian disebut Golongan Karya. Dengan
adanya pembinaan terhadap parpol-parpol dalam masa Orde Baru maka terjadilah
perampingan parpol sebagai wadah aspirasi warga masyarakat kala itu, sehingga
pada akhirnya dalam Pemilihan Umum 1977 terdapat 3 kontestan, yaitu Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) serta satu
Golongan Karya. Hingga Pemilihan Umum 1977, pada masa ini peserta pemilu hanya
terdiri sebagaimana disebutkan diatas, yakni 2 parpol dan 1 Golkar. Dan selama
masa pemerintahan Orde Baru, Golkar selalu memenangkan Pemilu. Hal ini
mengingat Golkar dijadikan mesin politik oleh penguasa saat itu.
B.7. Latar belakang lahirnya orde baru
Orde baru merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk
memisahkan antara kekuasaan masa Sukarno(Orde Lama) dengan masa Suharto.
Sebagai masa yang menandai sebuah masa baru setelah pemberontakan PKI tahun
1965. Orde baru lahir sebagai upaya untuk :
· Mengoreksi
total penyimpangan yang dilakukan pada masa Orde Lama.
· Penataan
kembali seluruh aspek kehidupan rakyat, bangsa, dan negara Indonesia.
· Melaksanakan
Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
· Menyusun
kembali kekuatan bangsa untuk menumbuhkan stabilitas nasional
Latar belakang lahirnya Orde Baru :
- Terjadinya
peristiwa Gerakan 30 September 1965.
- Keadaan
politik dan keamanan negara menjadi kacau karena peristiwa Gerakan 30
September 1965 ditambah adanya konflik di angkatan darat yang sudah
berlangsung lama.
- Keadaan
perekonomian semakin memburuk dimana inflasi mencapai 600% sedangkan upaya
pemerintah melakukan devaluasi rupiah dan kenaikan harga bahan bakar
menyebabkan timbulnya keresahan masyarakat.
- Reaksi
keras dan meluas dari masyarakat yang mengutuk peristiwa pembunuhan
besar-besaran yang dilakukan oleh PKI. Rakyat melakukan demonstrasi
menuntut agar PKI berserta Organisasi Masanya
dibubarkan serta tokoh-tokohnya diadili.
- Kesatuan
aksi (KAMI,KAPI,KAPPI,KASI,dsb) yang ada di masyarakat bergabung membentuk
Kesatuan Aksi berupa “Front Pancasila” yang selanjutnya
lebih dikenal dengan “Angkatan 66” untuk
menghacurkan tokoh yang terlibat dalam Gerakan 30 September 1965.
- Kesatuan
Aksi “Front Pancasila” pada 10 Januari 1966 di depan gedung DPR-GR
mengajukan tuntutan”TRITURA”(Tri Tuntutan Rakyat) yang berisi :
· Pembubaran PKI berserta Organisasi Massanya
· Pembersihan Kabinet Dwikora
· Penurunan Harga-harga barang.
- Upaya reshuffle kabinet
Dwikora pada 21 Februari 1966 dan Pembentukan Kabinet Seratus Menteri
tidak juga memuaskan rakyat sebab rakyat menganggap di kabinet tersebut
duduk tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965.
- Wibawa
dan kekuasaan presiden Sukarno semakin menurun setelah upaya untuk
mengadili tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September
1965 tidak berhasil dilakukan meskipun telah dibentuk Mahkamah Militer
Luar Biasa(Mahmilub).
- Sidang
Paripurna kabinet dalam rangka mencari solusi dari masalah yang sedang
bergejolak tak juga berhasil. Maka Presiden mengeluarkan Surat Perintah
Sebelas Maret 1966 (SUPERSEMAR) yang ditujukan bagi Letjen Suharto guna
mengambil langkah yang dianggap perlu untuk mengatasi keadaan negara yang
semakin kacau dan sulit dikendalikan.
Upaya menuju pemerintahan Orde Baru :
- Setelah
dikelurkan Supersemar maka mulailah dilakukan penataan pada kehidupan
berbangsa dan bernegara sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Penataan
dilakukan di dalam lingkungan lembaga tertinggi negara dan pemerintahan.
- Dikeluarkannya
Supersemar berdampak semakin besarnya kepercayaan rakyat kepada pemerintah
karena Suharto berhasil memulihkan keamanan dan membubarkan PKI.
- Munculnya
konflik dualisme kepemimpinan nasional di Indonesia. Hal ini disebabkan
karena saat itu Soekarno masih berkuasa sebagai presiden sementara
Soeharto menjadi pelaksana pemerintahan.
- Konflik
Dualisme inilah yang membawa Suharto mencapai puncak kekuasaannya karena
akhirnya Sukarno mengundurkan diri dan menyerahkan kekuasaan pemerintahan
kepada Suharto.
- Pada
tanggal 23 Februari 1967, MPRS menyelenggarakan sidang istimewa untuk
mengukuhkan pengunduran diri Presiden Sukarno dan mengangkat Suharto
sebagai pejabat Presiden RI. Dengan Tap MPRS No. XXXIII/1967 MPRS
mencabut kekuasaan pemerintahan negara dan menarik kembali mandat MPRS
dari Presiden Sukarno .
- 12
Maret 1967 Jendral Suharto dilantik sebagai Pejabat Presiden Republik
Indonesia. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Lama dan
dimulainya kekuasaan Orde Baru.
- Pada
Sidang Umum bulan Maret 1968 MPRS mengangkat Jendral Suharto sebagai
Presiden Republik Indonesia.
B.8. Kehidupan Politik Masa Orde Baru
Upaya untuk melaksanakan Orde Baru :
- Melakukan
pembaharuan menuju perubahan seluruh tatanan kehidupan masyarakat
berbangsa dan bernegara.
- Menyusun
kembali kekuatan bangsa menuju stabilitas nasional guna mempercepat proses
pembangunan menuju masyarakat adil dan makmur.
- Menetapkan
Demokrasi Pancasila guna melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni
dan konsekuen.
- Melaksanakan
Pemilu secara teratur serta penataan pada lembaga-lembaga negara.
Pelaksanaan Orde Baru :
- Awalnya
kehidupan demokrasi di Indonesia menunjukkan kemajuan.
- Perkembangannya,
kehidupan demokrasi di Indonesia tidak berbeda dengan masa
Demokrasi Terpimpin.
- Untuk
menjalankan Demokrasi Pancasila maka Indonesia memutuskan untuk
menganut sistem pemerintahan berdasarkan Trias Politika(dimana
terdapat tiga pemisahan kekuasaan di pemerintahan yaitu
Eksekutif,Yudikatif, Legislatif) tetapi itupun tidak
diperhatikan/diabaikan.
Langkah yang diambil pemerintah untuk penataan
kehidupan Politik :
A. Penataan Politik Dalam Negeri
1. Pembentukan Kabinet Pembangunan
Kabinet awal pada masa peralihan kekuasaan (28 Juli 1966)
adalah Kabinet AMPERA dengan tugas yang dikenal dengan nama Dwi
Darma Kabinet Ampera yaitu untuk menciptakan stabilitas politik dan
ekonomi sebagai persyaratan untuk melaksanakan pembangunan nasional. Program
Kabinet AMPERA yang disebut Catur Karya Kabinet AMPERA adalah
sebagai berikut :
- Memperbaiki
kehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan.
- Melaksanakan
pemilihan Umum dalam batas waktu yakni 5 Juli 1968.
- Melaksanakan
politik luar negeri yang bebas aktif untuk kepentingan nasional.
- Melanjutkan
perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan
manifestasinya.
Selanjutnya setelah sidang MPRS tahun 1968 menetapkan
Suharto sebagai presiden untuk masa jabatan 5 tahun maka dibentuklah kabinet
yang baru dengan nama Kabinet Pembangunan dengan tugasnya yang
disebut dengan Pancakrida, yang meliputi :
- Penciptaan
stabilitas politik dan ekonomi
- Penyusunan
dan pelaksanaan Rencana Pembangunan Lima Tahun Tahap pertama
- Pelaksanaan
Pemilihan Umum
- Pengikisan
habis sisa-sisa Gerakan 3o September
- Pembersihan
aparatur negara di pusat pemerintahan dan daerah dari pengaruh PKI.
2. Pembubaran PKI dan Organisasi masanya
Suharto sebagai pengemban Supersemar guna menjamin keamanan,
ketenangan, serta kestabilan jalannya pemerintahan maka melakukan :
- Pembubaran
PKI pada tanggal 12 Maret 1966 yang diperkuat dengan dikukuhkannya
Ketetapan MPRS No. IX Tahun 1966.
- Dikeluarkan
pula keputusan yang menyatakan bahwa PKI sebagai organisasi terlarang
di Indonesia.
- Pada
tanggal 8 Maret 1966 dilakukan pengamanan 15 orang menteri yang dianggap
terlibat Gerakan 30 September 1965. Hal ini disebabkan muncul keraguan
bahwa mereka tidak hendak membantu presiden untuk memulihkan keamanan dan
ketertiban.
3. Penyederhanaan dan Pengelompokan Partai Politik
Setelah pemilu 1971 maka dilakukan penyederhanakan jumlah
partai tetapi bukan berarti menghapuskan partai tertentu sehingga dilakukan
penggabungan (fusi) sejumlah partai. Sehingga pelaksanaannya kepartaian tidak
lagi didasarkan pada ideologi tetapi atas persamaan program. Penggabungan
tersebut menghasilkan tiga kekuatan sosial-politik, yaitu :
- Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) merupakan fusi dari NU, Parmusi, PSII, dan
Partai Islam Perti yang dilakukan pada tanggal 5 Januari 1973 (kelompok
partai politik Islam)
- Partai
Demokrasi Indonesia (PDI), merupakan fusi dari PNI, Partai Katolik, Partai
Murba, IPKI, dan Parkindo (kelompok partai politik yang bersifat
nasionalis).
- Golongan
Karya (Golkar)
4. Pemilihan Umum
Selama masa Orde Baru telah berhasil melaksanakan pemilihan
umum sebanyak enam kali yang diselenggarakan setiap lima tahun
sekali, yaitu: tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
1) Pemilu 1971
- Pejabat
negara harus bersikap netral berbeda dengan pemilu 1955 dimana para
pejabat negara termasuk perdana menteri yang berasal dari partai peserta
pemilu dapat ikut menjadi calon partai secara formal.
- Organisasai
politik yang dapat ikut pemilu adalah parpol yang pada saat pemilu sudah
ada dan diakui mempunyai wakil di DPR/DPRD.
- Pemilu
1971 diikuti oleh 58.558.776pemilih untuk memilih 460 orang anggota DPR
dimana 360 orang anggota dipilih dan 100 orang diangkat.
- Diikuti
oleh 10 organisasi peserta pemilu yaitu Partai Golongan Karya (236 kursi),
Partai Nahdlatul Ulama (58 kursi), Partai Muslimin Indonesia (24
kusi), Partai Nasional Indonesia (20 kursi), Partai Kristen Indonesia (7
kursi), Partai Katolik (3 kursi), Partai Islam Perti (2 kursi), Partai
Murba dan Partai IPKI (tak satu kursipun).
2) Pemilu 1977
Sebelum dilaksanakan Pemilu 1977 pemerintah bersama DPR
mengeluarkan UU No.3 tahun 1975 yang mengatur mengenai penyederhanaan jumlah
partai sehingga ditetapkan bahwa terdapat 2 partai politik (PPP dan PDI) serta
Golkar. Hasil dari Pemilu 1977 yang diikuti oleh 3 kontestan menghasilkan 232
kursi untuk Golkar, 99 kursi untuk PPP dan 29 kursi untuk PDI.
3) Pemilu 1982
Pelaksanaan Pemilu ketiga pada tanggal 4 Mei
1982. Hasilnya perolehan suara Golkar secara nasional meningkat. Golkar
gagal memperoleh kemenangan di Aceh tetapi di Jakarta dan Kalimantan Selatan
Golkar berhasil merebut kemenangan dari PPP. Golkar berhasil memperoleh
tambahan 10 kursi sementara PPP dan PDI kehilangan 5 kursi.
4) Pemilu 1987
Pemilu tahun 1987 dilaksanakan pada tanggal 23 April
1987. Hasil dari Pemilu 1987 adalah :
- PPP
memperoleh 61 kursi mengalami pengurangan 33 kursi dibanding dengan pemilu
1982 hal ini dikarenakan adanya larangan penggunaan asas Islam (pemerintah
mewajibkan hanya ada satu asas tunggal yaitu Pancasila) dan diubahnya
lambang partai dari kabah menjadi bintang.
- Sementara
Golkar memperoleh tambahan 53 kursi sehingga menjadi 299 kursi.
- PDI
memperoleh kenaikan 40 kursi karena PDI berhasil membentuk DPP PDI sebagai
hasil kongres tahun 1986 oleh Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam.
5) Pemilu 1992
Pemilu tahun 1992 diselenggarakan pada tanggal 9 Juni 1992
menunjukkan perubahan yang cukup mengagetkan. Hasilnya perolehan Golkar menurun
dari 299 kursi menjadi 282 kursi, sedangkan PPP memperoleh 62 kursi dan PDI
meningkat menjadi 56 kursi.
6) Pemilu 1997
Pemilu keenam dilaksanakan pada 29 Mei 1997. Hasilnya:
- Golkar
memperoleh suara mayoritas perolehan suara mencapai 74,51 % dengan
perolehan kursi 325 kursi.
- PPP
mengalami peningkatan perolehan suara sebesar 5,43 % dengan perolehan
kursi 27 kursi.
- PDI
mengalami kemerosotan perolehan suara karena hanya mendapat 11 kursi di
DPR. Hal ini disebabkan karena adanya konflik internal dan terpecah antara
PDI Soerjadi dan PDI Megawati Soekarno Putri.
Penyelenggaraan Pemilu yang teratur selama Orde
Baru menimbulkan kesan bahwa demokrasi di Indonesia sudah tercipta.
Apalagi pemilu itu berlangsung secara tertib dan dijiwai oleh asas
LUBER(Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia). Kenyataannya pemilu
diarahkan pada kemenangan peserta tertentu yaitu Golongan Karya (Golkar) yang
selalu mencolok sejak pemilu 1971-1997. Kemenangan Golkar yang selalu
mendominasi tersebut sangat menguntungkan pemerintah dimana terjadi perimbangan
suara di MPR dan DPR. Perimbangan tersebut memungkinkan Suharto menjadi
Presiden Republik Indonesia selama enam periode pemilihan. Selain itu, setiap
Pertangungjawaban, Rancangan Undang-undang, dan usulan lainnya dari pemerintah
selalu mendapat persetujuan dari MPR dan DPR tanpa catatan.
5. Peran Ganda ABRI
Guna menciptakan stabilitas politik maka pemerintah
menempatkan peran ganda bagi ABRI yaitu sebagai peran hankam dan sosial. Sehingga
peran ABRI dikenal dengan Dwifungsi ABRI. Peran ini dilandasi dengan
adanya pemikiran bahwa TNI adalah tentara pejuang dan pejuang tentara.
Kedudukan TNI dan Polri dalam pemerintahan adalah sama di lembaga MPR/DPR dan
DPRD mereka mendapat jatah kursi dengan pengangkatan. Pertimbangan
pengangkatannya didasarkan pada fungsi stabilisator dan dinamisator.
6. Pemasyarakatan P4
Pada tanggal 12 April 1976, Presiden Suharto mengemukakan
gagasan mengenai pedoman untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila yaitu
gagasan Ekaprasetia Pancakarsa. Gagasan tersebut selanjutnya ditetapkan
sebagai Ketetapan MPR dalam sidang umum tahun 1978 mengenai “Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila” atau biasa dikenal sebagai P4.
Guna mendukung program Orde baru yaitu Pelaksanaan Pancasila
dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen maka sejak tahun 1978 diselenggarakan
penataran P4 secara menyeluruh pada semua lapisan masyarakat.
Tujuan dari penataran P4 adalah membentuk pemahaman
yang sama mengenai demokrasi Pancasila sehingga dengan pemahaman yang sama
diharapkan persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara.
Melalui penegasan tersebut maka opini rakyat akan mengarah pada dukungan yang
kuat terhadap pemerintah Orde Baru.
Pelaksanaan Penataran P4 tersebut menunjukkan bahwa
Pancasila telah dimanfaatkan oleh pemerintahan Orde Baru. Hal ini tampak dengan
adanya himbauan pemerintah pada tahun 1985 kepada semua organisasi untuk
menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal. Penataran P4 merupakan suatu bentuk
indoktrinasi ideologi sehingga Pancasila menjadi bagian dari sistem
kepribadian, sistem budaya, dan sistem sosial masyarakat Indonesia.
B. Penataan Politik Luar Negeri
Pada masa Orde Baru, politik luar negeri Indonesia
diupayakan kembali kepada jalurnya yaitu politik luar negeri yang bebas aktif.
Untuk itu maka MPR mengeluarkan sejumlah ketetapan yang menjadi landasan
politik luar negeri Indonesia. Dimana politik luar negeri Indonesia harus berdasarkan
kepentingan nasional, seperti permbangunan nasional, kemakmuran rakyat,
kebenaran, serta keadilan.
1) Kembali menjadi anggota PBB
Indonesia kembali menjadi anggota PBB dikarenakan adanya
desakan dari komisi bidang pertahanan keamanan dan luar negeri DPR GR terhadap
pemerintah Indonesia. Pada tanggal 3 Juni 1966 akhirnya disepakati bahwa
Indonesia harus kembali menjadi anggota PBB dan badan-badan internasional
lainnya dalam rangka menjawab kepentingan nasional yang semakin mendesak.
Keputusan untuk kembali ini dikarenakan Indonesia sadar bahwa ada banyak
manfaat yang diperoleh Indonesia selama menjadi anggota PBB pada tahun
1950-1964. Indonesia secara resmi akhirnya kembali menjadi anggota PBB sejak
tanggal 28 Desember 1966.
Kembalinya Indonesia mendapat sambutan baik dari sejumlah
negara Asia bahkan dari pihak PBB sendiri hal ini ditunjukkan dengan
ditunjuknya Adam Malik sebagai Ketua Majelis Umum PBB untuk masa sidang tahun
1974. Kembalinya Indonesia menjadi anggota PBB dilanjutkan dengan tindakan
pemulihan hubungan dengan sejumlah negara seperti India, Filipina, Thailand,
Australia, dan sejumlah negara lainnya yang sempat remggang akibat politik
konfrontasi Orde Lama.
2) Normalisasi hubungan dengan beberapa negara
Sebelum pemulihan hubungan dengan Malaysia Indonesia telah
memulihkan hubungan dengan Singapura dengan perantaraan Habibur Rachman (Dubes
Pakistan untuk Myanmar). Pemerintah Indonesia menyampikan nota
pengakuan terhadap Republik Singapura pada tanggal 2 Juni 1966 yang
disampikan pada Perdana Menteri Lee Kuan Yew. Akhirnya pemerintah Singapurapun
menyampikan nota jawaban kesediaan untuk mengadakan hubungan
diplomatic.
Normalisasi hubungan Indonesia dan Malaysia dimulai dengan
diadakan perundingan di Bangkok pada 29 Mei-1 Juni 1966 yang
menghasilkan perjanjian Bangkok, yang berisi:
- Rakyat
Sabah diberi kesempatan menegaskan kembali keputusan yang telah mereka
ambil mengenai kedudukan mereka dalam Federasi Malaysia.
- Pemerintah
kedua belah pihak menyetujui pemulihan hubungan diplomatik.
- Tindakan
permusuhan antara kedua belah pihak akan dihentikan.
Peresmian persetujuan pemulihan hubungan Indonesia-Malaysia
oleh Adam Malik dan Tun Abdul Razak dilakukan di Jakarta tanggal 11
agustus 1966 dan ditandatangani persetujuan Jakarta (Jakarta
Accord). Hal ini dilanjutkan dengan penempatan perwakilan pemerintahan
di masing-masing negara.
3) Pendirian ASEAN(Association of
South-East Asian Nations)
Indonesia menjadi pemrakarsa didirikannya organisasi
ASEAN pada tanggal 8 Agustus 1967. Latar belakang didirikan
Organisasi ASEAN adalah adanya kebutuhan untuk menjalin hubungan kerja sama
dengan negara-negara secara regional dengan negara-negara yang ada di kawasan
Asia Tenggara.
Tujuan awal didirikan ASEAN adalah untuk membendung
perluasan paham komunisme setelah negara komunis Vietnam menyerang
Kamboja. Hubungan kerjasama yang terjalin adalah dalam bidang politik, ekonomi,
sosial, dan budaya. Adapun negara yang tergabung dalam ASEAN
adalah Indonesia, Thailand, Malysia, Singapura, dan Filipina.
B.9. Dampak Kebijakan Politik dan Ekonomi masa Orde Baru
Dampak positif dari kebijakan politik pemerintah Orba :
- Pemerintah
mampu membangun pondasi yang kuat bagi kekusaan lembaga kepresidenan yang
membuat semakin kuatnya peran negara dalam masyarakat.
- Situasi
keamanan pada masa Orde Baru relatif aman dan terjaga dengan baik karena
pemerintah mampu mengatasi semua tindakan dan sikap yang dianggap
bertentangan dengan Pancasila.
- Dilakukan
peleburan partai dimaksudkan agar pemerintah dapat mengontrol parpol.
Dampak negatif dari kebijakan politik pemerintah Orba:
- Terbentuk
pemerintahan orde baru yang bersifat otoriter, dominatif, dan
sentralistis.
- Otoritarianisme
merambah segenap aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
termasuk kehidupan politik yang sangat merugikan rakyat.
- Pemerintah
Orde Baru gagal memberikan pelajaran berdemokrasi yang baik dan benar
kepada rakyat Indonesia. Golkar menjadi alat politik untuk mencapai
stabilitas yang diinginkan, sementara 2 partai lainnya hanya sebagai
boneka agar tercipta citra sebagai negara demokrasi.
- Sistem
perwakilan bersifat semu bahkan hanya dijadikan topeng untuk melanggengkan
sebuah kekuasaan secara sepihak. Dalam setiap pemilhan presiden
melalui MPR Suharto selalu terpilih.
- Demokratisasi
yang terbentuk didasarkan pada KKN(Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme)sehingga
banyak wakil rakyat yang duduk di MPR/DPR yang tidak mengenal rakyat dan
daerah yang diwakilinya.
- Kebijakan
politik teramat birokratis, tidak demokratis, dan cenderung KKN.
- Dwifungsi
ABRI terlalu mengakar masuk ke sendi-sendi kehidupan berbangsa dan
bernegara bahkan pada bidang-bidang yang seharusnya masyarakat yang
berperan besar terisi oleh personel TNI dan Polri. Dunia bisnis tidak
luput dari intervensi TNI/Polri.
- Kondisi
politik lebih payah dengan adanya upaya penegakan hukum yang sangat lemah.
Dimana hukum hanya diciptakan untuk keuntungan pemerintah yang berkuasa
sehingga tidak mampu mengadili para konglomerat yang telah menghabisi uang
rakyat.
Dampak Positif Kebijakan ekonomi Orde Baru :
- Pertumbuhan
ekonomi yang tinggi karena setiap program pembangunan pemerintah terencana
dengan baik dan hasilnyapun dapat terlihat secara konkrit.
- Indonesia mengubah
status dari negara pengimpor beras terbesar menjadi bangsa yang memenuhi
kebutuhan beras sendiri (swasembada beras).
- Penurunan
angka kemiskinan yang diikuti dengan perbaikan kesejahteraan rakyat.
- Penurunan
angka kematian bayi dan angka partisipasi pendidikan dasar yang semakin
meningkat.
Dampak Negatif Kebijakan ekonomi Orde Baru :
- Kerusakan
serta pencemaran lingkungan hidup dan sumber daya alam
- Perbedaan
ekonomi antardaerah, antargolongan pekerjaan, antarkelompok dalam
masyarakat terasa semakin tajam.
- Terciptalah
kelompok yang terpinggirkan (Marginalisasi sosial)
- Menimbulkan
konglomerasi dan bisnis yang erat dengan KKN (Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme)
- Pembagunan
yang dilakukan hasilnya hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil kalangan
masyarakat, pembangunan cenderung terpusat dan tidak merata.
- Pembangunan
hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik,
ekonomi, dan sosial yang demokratis dan berkeadilan.
- Meskipun
pertumbuhan ekonomi meningkat tapi secara fundamental pembangunan ekonomi
sangat rapuh.
- Pembagunan
tidak merata tampak dengan adanya kemiskinan di sejumlah wilayah yang
justru menjadi penyumbang devisa terbesar seperti Riau, Kalimantan Timur,
dan Irian. Faktor inilahh yang selantunya ikut menjadi penyebab
terpuruknya perekonomian nasional Indonesia menjelang akhir tahun
1997.
Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru :
- perkembangan GDP per
kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS $70 dan pada 1996
telah mencapai lebih dari AS$1.000
- sukses transmigrasi
- sukses KB
- sukses
memerangi buta huruf
- sukses
swasembada pangan
- pengangguran
minimum
- sukses
REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
- sukses
Gerakan Wajib Belajar
- sukses
Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
- sukses
keamanan dalam negeri
- Investor
asing mau menanamkan modal di Indonesia
- sukses
menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri
Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru :
- semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
- pembangunan Indonesia yang
tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan
daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah
sebagian besar disedot ke pusat
- munculnya
rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan,
terutama di Aceh dan Papua
- kecemburuan
antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan
pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya
- bertambahnya
kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya
dan si miskin)
# Perkembangan politik pada masa reformasi
1. Munculnya Gerakan Reformasi
Reformasi merupakan suatu perubahan tatanan perikehidupan
lama dengan tatanan perikehidupan yang baru dan secara hukum menuju ke arah
perbaikan. Gerakan reformasi, pada tahun 1998 merupakan suatu gerakan untuk
mengadakan pembaharuan dan perubahan, terutama perbaikan dalam bidang politik,
sosial, ekonomi, dan hukum.
Buah perjuangan dari reformasi itu tidak dapat dipetik dalam
waktu yang singkat, namun membutuhkan proses dan waktu. Masalah yang sangat
mendesak, adalah upaya untuk mengatasi kesulitan masyarakat banyak tentang
masalah kebutuhan pokok (sembako) dengan harga yang terjangkau oleh rakyat.
Sementara itu, melihat
situasi politik dan kondisi ekonomi Indonesia yang semakin tidak terkendali,
rakyat menjadi semakin kritis menyatakan pemerintah Orde Baru tidak berhasil
menciptakan kehidupan masyarakat yang makmur, adil, dan sejahtera. Oleh karena
itu, munculnya gerakan reformasi bertujuan untuk memperbaharui tatanan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Beberapa agenda reformasi
yang disuarakan para mahasiswa anatara lain sebagai berikut :
- Adili
Soeharto dan kroni-kroninya.
- Amandemen
UUD 1945
- Penghapusan
Dwi Fungsi ABRI
- Otonomi
daerah yang seluas-luasnya
- Supremasi
hukum
- Pemerintahan
yang berisi dari KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme).
2. Kronologi Reformasi
Pada awal bulan Maret 1998 melalui Sidang Umum MPR, Soeharto
terpilih kembali menjadi Presiden Republik Indonesia, serta melaksanakan
pelantikan Kabinet Pembangunan VII. Namun pada saat itu semakin tidak kunjung
membaik. Perekonomian mengalami kemerosotan dan masalah sosial semakin
menumpuk. Kondisi dan siutasi seperti ini mengundang keprihatinan rakyat.
Mamasuki bulan Mei 1998, para mahasiswa dari berbagai daerah
mulai bergerak menggelar demostrasi dan aksi keprihatinan yang menuntut turunya
Soeharto dari kursi kepresidenannya.
Pada tanggal 12 Mei 1998 dalam aksi unjuk rasa mahasiswa
Universitas Trisakti, terjadi bentrokan dengan aparat keamanan yang menyebabkan
tertembaknya empat mahasiswa hingga tewas.
Pada tanggal 19 Mei 1998 puluhan ribu mahasiswa dari
berbagai perguruan tinggi di Jakarta dan sekitarnya berhasil menduduki Gedung
DPR/MPR. Pada tanggal itu pula di Yogyakarta terjadi peristiwa bersejarah.
Kurang lebih sejuta umat manusia berkumpul di alun-alun utara kraton Yogyakarta
untuk mndengarkan maklumat dari Sri Sultan Hamengku Bowono X dan Sri Paku Alam
VII. Inti isi dari maklumat itu adalah menganjurkan kepada seluruh masyarakat
untuk menggalang persatuan dan kesatuan bangsa.
Pada tanggal 20 Mei 1998, Presiden Soeharto mengundang
tokoh-tokoh bangsa Indonesia untuk dimintai pertimbangannya membentuk Dewan
Reformasi yang akan diketuai oleh Presiden Soeharto, namun mengalami kegagalan.
Pada tanggal 21 Mei 1998, pukul 10.00 WIB bertempat di
Istana Negara, Presiden Soeharti meletakkan jabatannya sebagai presiden di
hadapan ketua dan beberapa anggota dari Mahkamah Agung. Presiden menunjuk Wakil
Presiden B.J. Habibie untuk menggantikannya menjadi presiden, serta
pelantikannya dilakukan didepan Ketua Mahkamah Agung dan para anggotanya. Maka
sejak saat itu, Presiden Republik Indonesia dijabat oleh B.J. Habibie sebagai
presiden yang ke-3.
sumber :